Search This Blog

Polmark soal Gelaran Pilpres: Indonesia Tiap 5 Tahun Demam, 10 Tahun Kejang

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Polmark soal Gelaran Pilpres: Indonesia Tiap 5 Tahun Demam, 10 Tahun Kejang
Jun 12th 2023, 00:20, by Annisa Thahira Madina, kumparanNEWS

CEO Polmark Indonesia Eep Saefulloh Fatah menghadiri Workshop "Golkar dan Kemajuan Indonesia" di DPP Golkar, Jakarta, Rabu (20/11). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
CEO Polmark Indonesia Eep Saefulloh Fatah menghadiri Workshop "Golkar dan Kemajuan Indonesia" di DPP Golkar, Jakarta, Rabu (20/11). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

CEO PolMark Research Center, Eep Saefulloh Fatah, membeberkan sejumlah faktor menarik yang harus menjadi perhatian di pilpres 2024. Salah satunya yakni tak adanya bacapres petahana di pilpres mendatang.

Menurut Eep, tidak adanya petahana akan membuat pemilih lebih sulit mengkaji mana bacapres yang layak memimpin Indonesia ke depan.

Menarik kali ini tidak ada incumbent. Indonesia tiap 5 tahun demam, tiap 10 tahun kejang," kata Eep dalam diskusi guru besar terkait peta pemilu secara virtual, Minggu (11/6).

Eep juga memandang Pemilu 2024 masih akan diwarnai politik identitas. Ada pula ujian baru yakni pelemahan demokrasi dengan cara-cara birokrasi.

"Keunikan ketiga, Pemilu 2024 pasang ketiga politik identitas. Sejak Pilkada DKI politik identitas diproduksi jadi komunikasi politik. Kita lihat ujungnya ada dikotomi kebangsaan dan Islam. Akal saya tolak, ini penghadapan tidak masuk akal. Tapi obrolan ini masih menghiasi politik," ujar dia.

Ilustrasi Partai Peserta Pemilu Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Ilustrasi Partai Peserta Pemilu Foto: Fitra Andrianto/kumparan

"Keempat dari pemilu sebelumnya, 2024 ujian serius untuk presistensi demokrasi. Bayangkan, proses sudah jauh sistem masih didiskusikan bahkan bisa diubah. Ini nggak bisa diterima akal sehat. Menurut saya, ini pemilu dengan kualitas demokrasi paling rendah. Sebelumnya juga [ada upaya] 3 periode dan [pemilu] tertunda. Alhamdulillah menurut survei ini nggak jadi serius, ini problem elite," tambahnya.

Eep mengajak pihak akademisi mengawal pemilu dengan menggencarkan edukasi politik kepada masyarakat. Ia mengingatkan, pemimpin tak boleh siapa saja yang ingin maju, melainkan yang betul-betul layak.

"Dengan ujian serius, politik identitas, ada kebutuhan presiden yang layak memimpin. Saya punya dugaan instrumen non elektoral bisa digunakan di 2024. Baik berupa aparatur, tata kerja, yang bukan domain penyelenggaraan pemilu. Seperti BIN dan polisi. Ketika KPK, Kejaksaan, digunakan untuk menghambat atau fasilitasi pemenangan pemilu seperti kandidat atau parpol, itu non elektoral. Nah non elektoral ini pasang naik," papar dia.

"Karena itu, upaya jadi pengawas itu kebutuhannya pasang naik juga. Harus disyukuri, pemilih tuh sebenernya dari 2015 ke sini ada kemandirian politik. Indonesia dirusak politik uang benar, tapi apa politik uang marak atau efektif? Umumnya pemilih kita ketika ditanya jika ada kandidat yang beri uang atau benda supaya milih apa sikapnya? Terbanyak ambil uangnya, tapi pilihan berbeda. Pemilih semakin cerdas, politisnya yang tidak mau berubah, tidak cerdas-cerdas," pungkasnya.

Media files:
jf2af5bq2kgtc5v429c2.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar