Aug 25th 2024, 08:55, by Habib Allbi Ferdian, kumparanTECH
Pavel Durov, pendiri dan CEO Telegram, ditangkap di bandara Le Bourget di luar Paris, Prancis, pada Sabtu (24/8) malam waktu setempat.
Dilansir Reuters yang merujuk sumber dari TF1 TV dan BFM TV, Durov ditangkap saat sedang berpergian menggunakan jet pribadi dari Azerbaijan sekitar pukul 20.00 waktu setempat.
Penangkapan ini merupakan langkah awal dari penyelidikan polisi. Telegram diduga melakukan pelanggaran karena dianggap kurang moderator, dan polisi menyebut bahwa situasi ini dapat meningkatkan aksi kriminal di aplikasi Telegram.
Telegram sendiri telah menjadi aplikasi pesan singkat yang sangat berpengaruh di Rusia, Ukraina, dan negara-negara bekas Uni Soviet. Dia telah menjadi salah satu platform media sosial utama setalah Facebook, YouTube, WhatsApp, Instagram, TikTok, dan Wechat. Telegram punya target untuk menggaet satu miliar pengguna di tahun 2025.
Telegram yang berkantor pusat di Dubai didirikan oleh Durov. Durov merupakan warga negara Rusia, dia meninggalkan Rusia pada 2014 setelah menolak mematuhi tuntutan pemerintah untuk menutup komunitas oposisi di platform media sosial VK miliknya, yang sekarang telah dijual.
Setelah Rusia melancarkan invasi ke Ukraina pada 2022, Telegram telah menjadi sumber utama konten tanpa filter dan terkadang menyebarkan informasi menyesatkan dari kedua belah pihak tentang perang dan politik seputar konflik tersebut.
Aplikasi ini telah menjadi sarana komunikasi pilihan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan para pejabatnya. Kremlin dan pemerintah Rusia juga menggunakan Telegram untuk menyebarkan informasi dan berita yang mereka buat. Aplikasi ini juga menjadi salah satu dari sedikit medsos tempat di mana warga Rusia dapat mengakses berita tentang perang.
Kedutaan Besar Rusia di Prancis mengatakan bahwa sampai saat ini pihaknya belum dihubungi Durov setelah ada laporan bahwa dia ditangkap. Sementara perwakilan Rusia untuk organisasi internasional di Wina, Mikhail Ulyanov, dan beberapa politis Rusia menuduh Prancis bertindak sebagai negara diktator.
"Beberapa orang yang naif masih tidak memahami bahwa jika mereka memainkan peran yang lebih atau kurang terlihat dalam ruang informasi internasional, maka tidak aman bagi mereka untuk mengunjungi negara-negara yang bergerak menuju masyarakat yang lebih totaliter," tulis Ulyanov di media sosial X.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar