Dec 27th 2023, 10:33, by Slamet Tuharie, Slamet Tuharie
Gelaran Pilpres 2024 kini telah memasuki suhu yang semakin panas, terutama pada tingkat elite yang memiliki kepentingan secara langsung dengan para kandidat. Baik kepentingan soal upaya mendapatkan efek domino bagi suara partainya karena elektabilitas dan popularitas capres-cawapres yang diusungnya, atau upaya untuk mempertahankan posisi status quo saat ini yang telah diperolehnya.
Belum lagi, sudah menjadi rahasia umum juga tidak bisa dilepaskan kepentingan bisnisnya, karena kita tahu bahwa politisi di Indonesia adalah pengusaha, sehingga akses terhadap kekuasaan akan sangat penting bagi keberlanjutan bisnisnya.
Riset yang dilakukan oleh Penelitian Marepus Corner yang dirilis pada tahun 2020 menyebut bahwa sebanyak 55 persen anggota DPR merupakan pengusaha yang tersebar di berbagai sektor. Terbanyak adalah sektor energi, migas, teknologi, industri, manufaktur, dan retail yang jumlahnya mencapai 30%. Sisanya, tersebar di sektor developer, kontraktor, perkebunan, perikanan, pertanian, peternakan, keuangan, hingga perbankan.
Potret ini belum termasuk elite politik yang tidak menjadi bagian dari legislatif, tetapi berada pada kamar eksekutif yang juga tidak sedikit adalah para pebisnis sekaligus politisi yang tentu juga terafiliasi dengan partai politik tertentu, atau dekat dengan partai politik tertentu.
Melihat data riset Marepus Corner tersebut, tidak heran jika banyak yang berasumsi bahwa urusan politik dan bisnis bagi sebagian elite politik adalah seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bisnis membutuhkan back up politik yang kuat untuk menjaga keberlangsungannya atau untuk mengakses peluang-peluang bisnis yang belum terbuka, dan politik membutuhkan dukungan materi yang tidak sedikit, sehingga pengusaha memiliki peran vital untuk menunjang keberlangsungan politik.
Maka tidak salah jika asumsi umum menilai bahwa upaya saling serang dan saling counter secara terbuka dari para elite politik, selain sebagai upaya untuk meraih dukungan dari masyarakat terhadap kepentingan politik (baik parpol maupun pasangan calon), juga dalam rangka menjaga stabilitas kepentingan bisnisnya. Meski tidak semua, namun riset dari Marepus Corner yang memotret persentase 55 persen dari anggota legislatif adalah juga pengusaha, agaknya susah untuk mengatakan tidak ada conflict of interest dalam kebijakan politik yang diambilnya.
Terlepas dari kepentingan politik praktis maupun kepentingan bisnis dari para elite politiknya, hal yang tetap harus dikedepankan dalam rangka menjaga kondusivitas pesa demokrasi adalah soal etika politik. Tujuannya tidak lain agar iklim berpolitik kita menjadi lebih dewasa, masyarakat lebih objektif, dan para elite dapat menjadi panutan.
Etika Politik, di Mana Problemnya?
Standarisasi etika, pada dasarnya adalah yang hal relatif. Hal yang dianggap tidak etis di satu komunitas, bisa dianggap hal biasa bahkan cukup etis di komunitas lainnya. Termasuk dalam diksi-diksi bahasa, di mana ada kosakata atau ungkapan yang dianggap tidak etis bagi kelompok tertentu, tapi menjadi hal yang lumrah bagi kelompok yang lain. Problematikanya adalah pada sisi di mana dan dengan siapa kalimat itu digunakan.
Dalam hal-hal tertentu misalnya, ada banyak ungkapan-ungkapan bersifat khusus yang menjadi tabu ketika diungkapkan pada ruang-ruang umum. Namun yang perlu diingat bahwa kelahiran media sosial telah dengan cepat 'menghapus' skat khusus-umum dalam dialektika masyarakat Indonesia hari ini. Sehingga banyak diksi-diksi yang awalnya digunakan secara terbatas pada ruang khusus, berubah menjadi ruang publik. Dengan kata lain, sekarang sudah tidak ada lagi ruang khusus kecuali pada hal yang kita sampaikan kepada diri kita sendiri.
Etika lainnya yang juga menjadi problem pada proses politik di Indonesia adalah soal isu agama, di mana menjadi isu yang sangat sensitif bagi banyak kalangan di Indonesia, apalagi jika sudah menyentuh pada hal-hal yang bersifat subtantif dan tidak multitafsir. Seperti yang ramai akhir-akhir ini di media menyoal tata cara salat yang menjadi bahan guyonan Zulkifli Hasan dalam acara kementerian yang dipimpinnya. Silang pendapat tidak bisa dihindari, karena ini sudah menjadi domain publik, bukan lagi domain privat atau komunitas tertutup.
Umat Islam secara umum sudah memahami bahwa ada ibadah yang wajib dilaksanakan secara harian dan dalam kondisi apa pun harus tetap dijalankan sesuai dengan syarat dan rukunnya. Jadi, bukan hanya karena secara kebetulan ada paslon yang mengakronimkan nama pasangannya identik dengan bacaan dalam salat maka dapat mengubah tata cara salat begitu saja. Jika benar terjadi sebagaimana yang disampaikan Zulfikli Hasan, maka ini perlu dipertanyakan pemahamannya terkait dengan fiqh salat.
Saya kira, elite politik tak perlu menjadikan hal-hal yang seperti ini menjadi bahan kampanye untuk merendahkan paslon tertentu, karena salat adalah ibadah mahdhah yang secara garis besar tidak multitafsir dalam praktiknya. Masih banyak isu-isu lain yang lebih etis terkait isu agama yang perlu diangkat yang bisa memperkuat semangat persatuan dan kesatuan Indonesia dan bukan sebaliknya, justru menimbulkan friksi-friksi dalam kehidupan beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar