Search This Blog

MA Perintahkan KPU Cabut Aturan 'Karpet Merah' Bagi Eks Napi Koruptor Nyaleg

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
MA Perintahkan KPU Cabut Aturan 'Karpet Merah' Bagi Eks Napi Koruptor Nyaleg
Sep 29th 2023, 19:41, by M Lutfan D, kumparanNEWS

Gedung Mahkamah Agung Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Gedung Mahkamah Agung Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Gugatan ICW, Perludem, dan dua eks pimpinan KPK Saut Situmorang serta Abraham Samad dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA). MA memerintahkan kepada KPU mencabut aturan dalam PKPU yang dinilai oleh penggugat memberikan 'karpet merah' kepada eks koruptor dalam pemilu.

Gugatan tersebut terkait dengan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD (PKPU 10/2023) dan Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPD. MA mengabulkan seluruh gugatan para pemohon terhadap tergugat dalam hal ini Ketua KPU RI.

Adapun permohonan uji materiil yang dilakukan oleh ICW dkk ke MA ini terkait dengan Pasal 11 ayat 6 PKPU Nomor 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) di PKPU Nomor 11/2023.

"Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon: 1. Indonesia Corruption Watch 2. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi 3. Saut Situmorang dan 4. Abraham Samad untuk seluruhnya," demikian putusan dalam gugatan ICW dkk, dikutip dari laman MA, Jumat (29/9).

"Menyatakan Pasal 11 ayat (6) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum," lanjut putusan itu.

Pasal 18 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2023 juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.

Selain itu, MA juga memerintahkan kepada Ketua KPU RI untuk mencabut Pasal 11 ayat (6) di PKPU nomor 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) di PKPU 11/2023. Pencabutan tersebut disertai juga pencabutan terhadap aturan teknis dan pedoman pelaksaan yang diterbitkan sebagai implikasi ketentuan dalam dua pasal tersebut.

Adapun putusan tersebut dibacakan dan diketuk pada hari ini, Jumat (29/9). Permohonan itu diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah oleh Yulius selaku ketua dan Yosran serta Is Sudaryono selaku anggota majelis hakim.

Melihat Lagi Permohonan ICW Dkk

Komisioner KPK 2015-2019 Saut Situmorang didampingi Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana usai memberikan berkas uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 dan 11 ke Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (12/6/2023).  Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Komisioner KPK 2015-2019 Saut Situmorang didampingi Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana usai memberikan berkas uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 dan 11 ke Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (12/6/2023). Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan

Dalam permohonannya, ICW dkk meminta lima hal kepada MA. Lima hal itu tercantum dalam pokok permohonan gugatan:

  • Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;

  • Menyatakan Pasal 11 ayat (6) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

  • Menyatakan Pasal 18 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

  • Menyatakan seluruh pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai implikasi dari pelaksanaan ketentuan Pasal 11 ayat (6) PKPU Nomor 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU Nomor 11/2023 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, serta diperintahkan untuk dicabut pada saat putusan ini dibacakan; dan

  • Memerintahkan amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk dimuat dalam berita negara.

Dalam permohonannya, ICW dkk menyebut KPU menyelundupkan pasal yang membuka celah mantan terpidana korupsi untuk maju dalam kontestasi pemilu legislatif tanpa melewati masa jeda waktu 5 tahun sesuai putusan MK.

ICW menjelaskan, sumber persoalan ada pada Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023.

Dua aturan itu secara sederhana menyebut mantan terpidana korupsi diperbolehkan maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda waktu lima tahun sepanjang vonis pengadilannya memuat pencabutan hak politik.

Pasal 11 ayat 5 dan 6 PKPU 10/2023, berbunyi:

(5) Persyaratan telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, terhitung sejak tanggal selesai menjalani masa pidananya sehingga tidak mempunyai hubungan secara teknis dan administratif dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, dan terhitung sampai dengan Hari terakhir masa pengajuan Bakal Calon.

(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku jika ditentukan lain oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pidana tambahan pencabutan hak politik.

KPU membuat aturan turunan untuk menjelaskan pasal tersebut yaitu Keputusan KPU Nomor 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR RI dan DPRD (KepKPU 352/2023).

Dalam Keputusan itu, ada lampiran simulasi untuk memahami 'pasal selundupan' yang secara singkat diasumsikan: Bakal caleg yang dicabut hak politiknya 3 tahun dan bebas pada 2020, maka bisa mencalonkan diri di 2023.

Padahal, putusan MK mengatur jedanya harus 5 tahun meski hak politiknya dicabut hanya 3 tahun.

Uraiannya sebagai berikut:

"Mantan terpidana yang diputus pidana tambahan pencabutan hak politik 3 tahun, yang bersangkutan bebas murni pada tanggal 1 Januari 2020. Jika mendasarkan pada amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 maka jeda waktu untuk bisa dipilih harus melewati 5 tahun sehingga jatuh pada tanggal 1 Januari 2025. Namun berdasarkan pertimbangan hukum yang termuat pada halaman 29 Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud yang mempertimbangkan "sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap", sehingga mantan terpidana yang mendapatkan pidana tambahan pencabutan hak politik 3 (tiga) tahun, maka hanya berlaku pencabutan hak pilih tersebut. Yang bersangkutan telah memiliki hak untuk dipilih per tanggal 1 Januari 2023, terhitung 3 (tiga) tahun sejak bebas."

Media files:
vl43xeuab21woyty0z2i.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar