Pada 4 Maret 2024, wanita bernama Nurhasnah Septiana (38 tahun), tewas usai ditabrak truk Mitsubishi Colt. Kasus ini mencuat usai Dewi Novita, kakak ipar korban, mengungkapkan kejanggalan.
Dewi Novita, kakak ipar korban, mendapatkan informasi kasus tersebut dihentikan dengan terbit Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), lantaran truk tersebut diduga milik perwira Polda Sumbar.
"Padahal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 mengatur bahwa walaupun orang tidak sengaja menabrak, kalau sudah menghilangkan nyawa seseorang itu sudah pidana," kata Dewi, Sabtu (18/5).
Kejanggalan 1: Sopir Tidak Ditahan
Dewi sudah menduga sejak awal kasus ini terdapat kejanggalan. Pertama, usai kecelakaan, sopir truk sempat ingin pergi meninggalkan Polres Payakumbuh.
"Saya tanya ke yang membawa truk, ini mobil siapa? Lalu sopir menyebut nama seseorang. Saya ingin bongkar barang dulu kata si sopir. Saya emosi, sudah meninggal keluarga saya, barang muatan juga yang kamu pikirkan. Saya suruh masukin mobil ke polres lagi," cerita Dewi.
"Sopir turun, lalu bilang minta maaf bahwa bukan dia yang sopir yang nabrak, tapi sopir yang nabrak ada di sebelahnya. Harusnya kan SOP-nya truk ini ditahan, dan sopir diamankan, tapi ini tidak. Ini kejanggalan di awal," sambungnya.
Kejanggalan 2: SP3
Menurut Dewi, selama 2 bulan adiknya (suami korban) dimintai keterangan oleh polisi. Dipanggil, padahal jarak Polres Payakumbuh dengan kediamannya cukup jauh.
"Adik saya disuruh setiap sebentar ke polres dimintai keterangan, padahal dia harus kerja, hanya kuli batu bata, menghidupkan dua anaknya. Cari uang kerja dulu baru bisa makan. Tiap sebentar dipanggil, kadang hanya dimintai keterangan ditanya nama istrinya siapa, tanggal nikah kapan, itu aja," kata Dewi.
Kemudian, kata Dewi, pada 12 Mei 2024 adiknya kembali dipanggil penyidik ke Polres Payakumbuh. Penyidik menyatakan kasus kecelakaan ditutup karena yang salah adalah pengendara sepeda motor.
"Karena membawa sepeda motor dengan kecepatan tinggi 60-70 km/jam. Dia yang ngejar truk untuk tabrak truk," ucap Dewi menirukan kata penyidik.
"Penyidik bilang, si sopir hanya bisa ganti rugi sebesar Rp 5 juta. Kalau mau terima sekarang, kalau tidak ini hangus. Ini kasus sudah tutup kasus. Enak sekali polisinya bicara seperti itu, mediasi tidak pernah. Tidak ada upaya mediasi," tambahnya.
Mendengar kabar tersebut, Dewi menyebutkan adiknya sempat kaget dan menangis pulang. Ia menyesalkan kasus ditutup sehingga pelaku tabrakan bebas.
"Pulang nangis dan bilang: Kok seperti ini kali, enak sekali yang nabrak bisa bebas. Istri saya sudah meninggal dia malah bebas," ujar Dewi.
Kejanggalan 3: Surat Kematian
Dari rentetan penanganan perkara kecelakaan yang janggal itu, Dewi mulai mencoba memviralkan di media sosialnya. Puncaknya, pada Jumat (17/5), keluarga korban mencoba meminta surat keterangan kematian untuk pelunasan kredit mobil di leasing.
"Lalu kemarin, kan almarhumah masih memiliki utang di leasing. Singkat cerita, datang ke polres minta surat kematian yang asli. Tidak mau diberikan surat itu. Mama saya sudah memohon, polisi itu diam saja. Mama nangis ke saya di telepon, saya datang baru saya videokan," katanya.
"Saya tanyakan alasannya tidak mau diberikan. Dia bilang untuk proses penyelidikan dan bla-bla-bla. Saya jawab kalau memang untuk proses penyelidikan, kan kasus sudah dihentikan, SP3 sudah dikeluarkan. Kenapa ditahan-tahan. Sampai sekarang saya belum mendapat jawaban sebenarnya kenapa ditahan surat kematian. Sementara kami butuh itu. Saya sudah bilang, saya ganti sama surat foto kopi yang sudah dilegalitas dari rumah sakit, tetap dia tidak mau," kata Dewi.
Penjelasan Polres Payakumbuh
Kasat Lantas Polres Payakumbuh, AKP Firdaus, membantah menahan surat keterangan kematian yang asli. Surat itu diperlukan untuk administrasi penyidikan dalam berkas perkara.
"Memang kami menerima surat keterangan kematian (dari rumah sakit) kami gunakan untuk administrasi penyidikan dalam berkas perkara. Sedangkan dealer-leasing minta yang asli, buat apa minta yang asli?" kata Firdaus.
Ia mengungkap penyidik telah membuat surat keterangan untuk dealer-leasing. Namun apabila benar sangat dibutuhkan yang asli, penyidik sedang mengupayakan.
"Kami sudah buat keterangan yang menyatakan bahwa surat keterangan kematian ada di penyidik ada di berkas perkara. Supaya pihak leasing bisa menggunakan secara utuh fotokopi. Bukan kami tidak mau berikan, kami butuh juga," imbuhnya.
Firdaus mengakui hasil penyidikan kelalaian berada ada pada pengendara sepeda motor. Maka itu, kasus ditutup karena pengendara sepeda motor meninggal dunia.
Menurut Firdaus, keluarga sopir truk juga telah mencoba menemui keluarga pengendara motor, namun malah dimaki-maki.
"Sejak hari pertama dan ketujuh itu pihak sopir truk dan keluarganya sudah mencoba mendatangi keluarga pemotor. Hari ke delapan, keluarga sopir dimaki-maki. Makanya tidak ada datang lagi. Keluarga sopir truk minta ke penyidik untuk dipertemukan atau difasilitasi, sudah tiga kali difasilitasi. Upaya kesanggupan keluarga sopir Rp 5 juta. Dari pihak pemotor tidak mau dengan nominal itu mungkin," jelasnya.
Polisi Klaim Sopir Ditahan, Truk Disita
Firdaus membantah pihaknya tidak menahan sopir dan menyita truk. "Sopir tetap kami amankan di polres sejak kejadian, diamankan selama 7 hari. Barang bukti masih kami tahan, sepeda motor dan truk," kata dia.
Polisi: Sopir Mengakui Truk Milik Perwira Polisi
Firdaus menegaskan dalam penangan perkara tidak ada intervensi dari siapa pun, meskipun disebut-disebut truk merupakan milik seorang perwira polisi.
"Kami tanya sopir truk, pengakuannya iya (milik perwira polisi), tapi nama di STNK berbeda. Bisa jadi sudah dibeli tapi belum balik nama," ujar Firdaus.
"Tidak ada intervensi, sesuai prosedur penangan perkara. Mulai penyelidikan kami naikkan penyidikan lalu gelar perkara. Sebelum kami hentikan perkara kami juga melakukan gelar perkara khusus, rekomendasi SP3. Kami juga mencoba koordinasi dan konsultasi dengan kejaksaan. Jawaban sama. Maka kami sepakat perkara dihentikan demi hukum, karena tersangka meninggal dunia," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar