Masa jabatan Indonesia sebagai Ketua ASEAN akan berakhir pada 31 Desember 2023 ini. Meski ASEAN telah mencapai tingkat solidaritas yang lebih tinggi di bawah kepemimpinan Indonesia dengan diadopsinya ASEAN Maritime Outlook (AMO) pada Agustus 2023 dan penyelenggaraan latihan militer bersama, ASEAN masih belum membangun kesatuan perspektif perkara Laut Tiongkok Selatan (LTS), yang dapat menyebabkan negara-negara anggota ASEAN mencoba untuk mengatasi sengketa LTS dengan cara mereka sendiri.
RRT telah lama mengeklaim hampir seluruh Laut Tiongkok Selatan sebagai wilayah kekuasaannya.
Dalam note verbale (no. CML/17/2009 dan no. CML/18/2009) kepada Sekretaris Jenderal PBB tertanggal 7 Mei 2009, RRT mengeklaim bahwa "Tiongkok memiliki kedaulatan tak terbantahkan atas pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan dan perairan yang berdekatan serta hak-hak kedaulatan dan yurisdiksi atas perairan yang relevan serta dasar laut dan dasar tanahnya" dan melampirkan peta yang menggambarkan sembilan garis putus-putus di Laut Tiongkok Selatan (LTS).
RRT mengirim note verbale tersebut sebagai respons atas pengajuan klaim oleh Vietnam dan Vietnam bersama Malaysia kepada PBB untuk memperpanjang landas kontinen di wilayah masing-masing di LTS. Dalam peta sembilan garis putus-putus (nine dash line) itu, RRT mengeklaim wilayah Laut Tiongkok Selatan, mulai dari Kepulauan Paracel (yang diduduki RRT tapi diklaim Vietnam dan Taiwan) hingga Kepulauan Spratly yang disengketakan dengan Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam.
Januari 2013, pascakebuntuan sengketa atas Beting Scarborough, Filipina memulai proses arbitrase terhadap Cina di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) mengenai berbagai isu LTS. Mahkamah Arbitrase UNCLOS pada 12 Juli 2016 memutuskan bahwa (1) tidak ada daratan di Kepulauan Spratly yang dapat disebut "pulau", sehingga tidak berhak mengeklaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE); (2) klaim sembilan garis putus-putus tidak memiliki dasar hukum; (3) pembangunan pulau buatan di LTS oleh RRT adalah ilegal.
RRT sendiri menolak berpartisipasi dalam dan menerima putusan Mahkamah Arbitrase UNCLOS. Pada 7 Desember 2014, seminggu sebelum tenggat waktu enam bulan dari Permanent Court of Arbitrations's (PCA) untuk memberikan tanggapan, RRT mengeluarkan kertas posisi terkait proses arbitrase yang diajukan oleh Filipina. Pemerintah RRT mengulangi penolakannya untuk menerima atau berpartisipasi dalam proses arbitrase.
(1) RRT menganggap bahwa isu inti dari arbitrase tersebut adalah kedaulatan teritorial, yang bukan merupakan domain dari UNCLOS, (2) RRT menuduh Filipina telah melanggar hukum internasional dengan membawa kasus ini ke PCA, karena kedua belah pihak telah sepakat untuk menyelesaikan masalah ini lewat negosiasi bilateral; (3) RRT menyatakan telah mengajukan deklarasi pada 2006 untuk dibebaskan dari kewajiban arbitrase wajib dan prosedur penyelesaian sengketa wajib lainnya; (4) RRT melihat bahwa penolakannya terhadap proses arbitrase sesuai dengan hukum internasional. RRT mempertahankan posisi ini setelah Putusan Mahkamah Arbitrase UNCLOS final pada 12 Juli 2016.
Dalam tanggapannya terhadap Putusan Mahkamah Arbitrase UNCLOS (12 Juli 2016), RRT (1) bersikukuh memiliki kedaulatan teritorial serta hak-hak maritim dan kepentingan yang relevan, perairan internal, laut teritorial, dan zona bersebelahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen, serta hak historis di LTS yang sejalan dengan hukum-hukum internasional dan (2) berkeinginan menyelesaikan sengketa secara damai melalui negosiasi dan konsultasi dengan negara-negara yang terlibat secara langsung.
Penolakan RRT terhadap UNCLOS Tribunal berakar pada pandangan (dan pengalaman sejarahnya) bahwa perjanjian internasional adalah produk politis yang sewaktu-waktu bisa berubah. Pandangan khas RRT ini berakar pada Konfusianisme: hukum ditujukan untuk mendisiplinkan orang yang buruk/tidak beradab, maka hadir dalam persidangan berarti sama saja mengaku telah berbuat buruk, padahal RRT bersikeras bahwa ia hanya mengeklaim kedaulatan dan hak-haknya di LTS.
Sikap khas RRT yang cenderung menghindari mekanisme hukum internasional dan mengedepankan solusi politik/negosiasi yang berpusat pada Tiongkok ini kiranya juga termanifestasi dalam kebijakan luar negerinya.
Pada Agustus 2023 lalu, RRT menerbitkan peta standar China edisi 2023 baru yang menggambarkan 10 garis putus-putus di LTS. Beberapa bulan sebelum peta tersebut terbit, Global Times, salah satu media RRT, memuat pernyataan bahwa "peta China harus selalu secara akurat mencerminkan ruang lingkup wilayah China." Ini mengindikasikan RRT memang percaya bahwa semua wilayah yang diklaim itu miliknya. Tak heran, peta ini sontak mendapat penolakan keras dari negara-negara penggugat dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Di Asia Tenggara, penolakan datang dari lima dari sepuluh negara ASEAN yang paling berkepentingan dengan isu LTS, yaitu Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Sementara India dan Taiwan juga mengeluarkan tanggapan terhadap peta tersebut lantaran berimplikasi pada kepentingan mereka.
Sikap Indonesia soal Laut Tiongkok Selatan
Lokasi Indonesia, Malaysia, dan Singapura adalah salah satu jalur laut tersibuk di dunia. Selat Malaka langsung terhubung dengan LTS dan dilewati oleh sekitar 90.000 kapal setiap tahun dengan 40 persen dari kapal-kapal tersebut dilaporkan mengangkut materi perdagangan global. Meski berulang kali terlibat perselisihan dengan China terkait Laut Natuna Utara, Indonesia, sebagai anggota terbesar ASEAN, telah menunjukkan komitmen menjaga perdamaian dan berperan sebagai juru damai di LTS.
Indonesia memang berada pada posisi yang sedikit berbeda dari Filipina, Vietnam, dan Malaysia, karena Indonesia tidak berpartisipasi dalam sengketa wilayah di LCS, pun selalu konsisten dengan pendirian sebagai non-claimant. Indonesia sendiri mengalami pelanggaran RRT atas ZEE di Laut Natuna Utara sejak 2008 hingga sekarang. RRT selalu mengatakan bahwa selama ribuan tahun, nelayan tradisional China mencari ikan di wilayah laut tersebut. Terhadap kasus ini, posisi Indonesia jelas:
1) Indonesia tidak mengakui adanya tumpang tindih klaim di Perairan Natuna, sehingga dialog apa pun tentang delimitasi batas maritim tidaklah relevan. Indonesia diakui sebagai Negara Kepulauan. Menurut UNCLOS 1982, Negara Kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Negara Kepulauan dapat menarik garis dasar/pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu. Termasuk dalam Konvensi tersebut adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sepanjang 200 mil. Adapun klaim historis RRT bahwa nelayan China telah sejak dulu beraktivitas di perairan tersebut bersifat unilateral/sepihak, tanpa dasar hukum, dan tidak pernah diakui UNCLOS 1982, pun telah dibahas dan dimentahkan melalui putusan UNCLOS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah 'relevant waters' yang diklaim RRT, karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Sebagai catatan, Indonesia telah menunjukkan dukungan resmi terhadap keputusan Mahkamah Arbitrase UNCLOS 2016 melalui dua nota diplomatik kepada PBB pada Mei dan Juni 2020. Artinya, Indonesia mengakui peran mekanisme hukum internasional untuk penyelesaian sengketa.
2) RRT sendiri mengakui kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna. Maka, seturut prinsip "land governs the sea" dalam UNCLOS, RRT selayaknya mengakui hak berdaulat Indonesia atas Perairan Natuna.
3) Indonesia mendesak RRT untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perikal klaim di Perairan Natuna berdasarkan UNCLOS 1982 mengingat Indonesia dan RRT sama-sama telah meratifikasi UNCLOS: Indonesia pada 1985, sementara RRT pada 1996.
Inti sikap Indonesia ini tidak berbeda dengan note verbale (No. 480/POL-703/VII/10) Indonesia yang disampaikan kepada PBB pada Juli 2010. Dalam kasus ini, dengan menyangkal klaim adanya tumpang tindih kepentingan maritim yang dilayangkan RRT, Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia dan RRT tidak berdiri di pijakan yang sama: dasar hukum klaim kedaulatan Indonesia di Perairan Natuna lebih kuat karena dijamin oleh hukum internasional, sedangkan klaim RRT hanya didasari klaim sepihaknya.
Kini, dalam kasus LTS, ada indikasi kuat bahwa kemajuan yang berarti dalam COC tergantung pada peran RRT, dan bukan peran ASEAN, dalam negosiasi. Bagaimanapun, negosiasi tidak mungkin bergerak maju jika pihak yang berselisih enggan berkompromi dan tidak punya kemauan politik kuat untuk mencapai solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. , sejauh ada niat damai dari ASEAN dan RRT, selalu ada jalan tengah yang bisa diambil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar