Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Denny Indrayana, bicara soal kemungkinan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan syarat menjadi capres-cawapres di 2024 tidak sah. Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan, menambahkan frasa dalam pasal 169 huruf q UU Pilpres sehingga calon yang berusia belum 40 tahun tetapi pernah atau sedang menjabat kepala daerah bisa maju Pilpres.
Denny bicara soal mekanisme menyatakan putusan MK itu tidak sah. Menurutnya, dalam dua undang-undang yakni soal Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Konstitusi, tidak secara terang bicara soal mekanisme menyatakan putusan tidak sah.
"Hanya dikatakan jika hakim ada Conflict of Interest (CoI) dan tidak mundur dari perkara, putusan menjadi tidak sah," kata Denny dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (20/10).
Denny menguraikan, bahwa UU Kekuasaan Kehakiman dalam pasal 17 ayat (6) bicara soal sanksi administratif, bahkan pidana bagi hakim yang tidak mundur. Berikut bunyi pasalnya:
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5 yang disinggung dalam pasal 17 ayat (6) tersebut berbunyi:
(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
(3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Kemudian, dalam pasal 17 ayat (7) di UU yang sama, disebutkan soal apabila hakim terbukti melanggar ayat 5 dan 6, maka gugatan akan diputus oleh susunan hakim yang berbeda. Adapun pasal 17 ayat (5) berbunyi:
Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara
Atas dasar tersebut, Denny berpandangan agar segera dibentuknya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk mengusut laporan dugaan pelanggaran etik.
Saat ini, sudah ada laporan dugaan pelanggaran etik yang disampaikan oleh Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) terkait putusan soal syarat maju pilpres tersebut. Terlapornya yakni Ketua MK Anwar Usman, yang turut mengabulkan gugatan itu. Dia adalah paman dari Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi.
Di sisi lain, Denny juga sudah melaporkan dugaan pelanggaran etik Anwar Usman pada 27 Agustus 2023. Laporan Denny juga terkait dengan Anwar yang tidak mundur dalam pengujian permohonan terkait batas usia syarat maju capres-cawapres.
"Periksa laporan pelanggaran etika AU (Anwar Usman) dkk. Saya sudah lapor dugaan pelanggaran etika AU ke MKMK sejak 27 Agustus," kata dia.
Denny menyebut, putusan MKMK nantinya apabila menyatakan ada pelanggaran etik, bisa menjadi dasar pemberhentian hakim yang melanggar.
"Dengan temuan pelanggaran etika MKMK tersebut, putusan MK (nomor) 90-nya (90/PUU-XXI/2023) menjadi tidak sah berdasarkan Pasal 17 ayat 6 UU KK," kata dia.
"Perkara 90 lalu diperiksa ulang oleh hakim-hakim MK dengan komposisi baru, sesuai Pasal 17 ayat 7 UU KK," sambungnya.
Dia juga mengusulkan, selama pemeriksaan etik, MKMK mengeluarkan putusan provisi bahwa putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 belum bisa dijadikan dasar untuk pendaftaran Pilpres 2024, karena masih menjadi bahan pemeriksaan MKMK.
"Sebaiknya putusan MKMK sebelum 12 November, batas masih bisa mengajukan calon paslon pengganti di KPU," kata dia.
"Bangsa ini mesti diselamatkan dari Putusan MK 90 yang cacat etika moral konstitusional, dan diselamatkan dari pasangan calon dinasti (Gibran) yang mungkin maju berdasarkan putusan 90 yang cacat tersebut," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar