Search This Blog

Jakarta, Kelas Menengah, dan Opresi Kapital

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Jakarta, Kelas Menengah, dan Opresi Kapital
Aug 14th 2023, 20:49, by Krisnaldo Triguswinri, Krisnaldo Triguswinri

Ilustrasi gambar daftar Mall di Jakarta Timur . Pexels.com
Ilustrasi gambar daftar Mall di Jakarta Timur . Pexels.com

Aku selalu belajar untuk tak takut Jakarta dan bekas kecupan malam. Menyadari bahwa makan malam terbaik adalah belaian jemari Aurora di pipiku dan sarapan terburuk adalah jarak. Jemari Aurora, seperti dongeng anak-anak Hans Andersen, menyihir dan melelapkan.

Merasakan kelembutan jemarinya seraya jatuh cinta, serupa merasa belaian Tuhan dan semesta. Sedang jarak, ia mengatur sabar. Walau lentera, aku mencurinya dari Nietzsche, menyalak 24/7 meraba napas hingga jejak langkah Aurora yang terengah dan lelah; setia mengirim kabar dan doa.

Dahulu sekali, aku sangat membenci Jakarta. Selain sebagai pusat bisnis dan politik yang angkuh dan kasar, Jakarta adalah metropolis yang, misalnya, bagi sebagaian orang mungkin dianggap the garden of eden karena menyediakan kemewahan sekaligus kenikmatan.

Berbeda denganku yang, sejujurnya, ingin menista dan menganggap Jakarta sebagai pusat kegaduhan daerah; ketimpangan kelas, penguasaan sumber alam dan ekonomi, penggusuran, serta kekerasan sosial.

Sejak masuk ke universitas, sejak belajar sosial-politik, aku mengetahui bahwa Jakarta itu berisik dan menyebalkan. Sejak masih di desa, sebelum merantau ke kota demi kota, aku menyaksikan Jakarta lewat dunia tontonan; kehidupan malam yang arogan, pergaulan sosial yang barbar, serta perilaku urban kelas menengah yang amoral–segera aku menolaknya.

Sejak satu bulan tualang di Jakarta, aku mengetahui dari dekat, ada banyak cara bahagia di Jakarta, dan ada banyak penderitaan tak berkesudahan di Jakarta.

Iklim dan ekosistem sosial di Jakarta selalu menggetarkan mental. Bagi seorang pengangguran sepertiku, yang menghabiskan waktu di desa, berkelana di pegunungan, menghabiskan penghujung malam dengan baca dan diskusi, menyelesaikan pagi hingga sore mencerca para bandit, serta anti-kemapanan, pasti resah dan gelisah.

Perempuan Jakarta gelisah tentang standar kecantikan dan kelas sosial mereka. Sedang para pria, menjaring banyak wanita dengan tampang dan kemapanan. Tidak. Aku tidak membuat generalisasi bahwa semua orang seperti itu. Itu hanya persepsi subjektif seorang minder dan pecundang sepertiku.

Foto: Mirsan/kumparan
Foto: Mirsan/kumparan

Walau Jakarta tidak cocok bagi laki-laki tropis, miskin dan berpenampilan lusuh sepertiku, namun Jakarta menyimpan sepotong hati yang harus dirawat pelan dan lembut di altar Dewa Krisna. Sepotong hati itu, dirawat penuh kehati-hatian, serupa kakek tua di pedalaman Fussen, German, romantic road yang berbatasan langsung dengan Austria.

Kakek tua itu menghabiskan sisa hidupnya menyirami kebun bunga di belakang rumah, memutar piringan hitam Beethoven, menyenduh kopi, melamun di perapian, serta gelisah menanti Natal dan sinterklas membawa roti dan anggur meloncengi pintu rumahnya. Aku juga, menanti Aurora menelfon dan bicara.

Di Jakarta buruh kantor mengantuk terburu-buru tiba di tempat kerja–menghindari kemacetan, berjejal masuk transportasi umum, dan rajin merapikan rambut.

Sebagian yang lain mengemis, memulung, mengamen, dan mencopet. Sedang para aristokrat dan politisi makan pizza membicarakan perampokan-perampokan selanjutnya. Yang pertama dan kedua, mereka tidak bersalah. Semua adalah salah kapitalisme dan sistem kerja yang busuk. Kampung miskin kota dikepung apartemen dan megaproyek; penggusuran dan krisis air adalah bahaya laten yang sesungguhnya.

Foto: AFP/BAY ISMOYO
Foto: AFP/BAY ISMOYO

Kuliah para professor dan ceramah politik kenegaraan tentang ruang hidup dan green growth strategy; pembangunan berbasis green economy dan human right adalah utopia, bohong dan tidak benar. Aku benci professor dan negarawan yang tidak punya passion terhadap penderitaan manusia; mereka terlalu sibuk kekenyangan, seminar, dan mejeng di perpustakaan.

Oleh karena itu, bila seorang kaya dan politisi dapat memiliki banyak sumber daya kekayaan tanpa harus dan pernah bekerja keras, salahkah seorang miskin melakukan kriminalitas untuk menghidupi kebutuhan bertahan hidup mereka? Peduli setan dengan jawabanmu. Mulai sekarang, keadilan biar mereka yang tentukan.

Media files:
01h7qmja9nk5gp2mk3vj4pf1gh.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar