Search This Blog

Quo Vadis Pendidikan Indonesia

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Quo Vadis Pendidikan Indonesia
Jul 31st 2023, 04:49, by Agus P Sarjono, Agus P Sarjono

Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek
Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek

Dua kandidat bakal calon presiden (Bacapres) Anies Baswedan dan Prabowo Subianto kompak memberikan kritik kepada program pendidikan yang saat ini dijalankan Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Dilansir kumparan, kritik dari dua kandidat capres itu disampaikan usai mengikuti puncak kegiatan Belajarraya 2023 di Pasar Baru, Jakarta Pusat pada Sabtu (29/7) lalu.

Baik Anies maupun Prabowo, sama-sama menilai bahwa masih ada kekurangan yang membuat program pendidikan di Indonesia masih jalan di tempat. Selain kurang dilibatkannya peran masyarakat, mutu guru sebagai tonggak pendidikan bagi para anak bangsa masih terbilang terbelakang.

Padahal kata Prabowo, pendidikan adalah kunci kebangkitan kita sebagai bangsa. Rasa-rasanya kita sepakat, tidak ada kekuatan lain di dunia yang mampu membebaskan manusia, baik secara individual maupun kolektif dari pembodohan, penindasan, penyimpangan, apalagi pemiskinan secara struktural maupun kultural jika tidak melalui proses pendidikan.

Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: Shutterstock
Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: Shutterstock

Tapi bagaimana dengan kondisi pendidikan kita sekarang? Mengapa peringkat pendidikan kita dan hal-hal yang berkaitan dengan itu, berada dalam kondisi yang memprihatinkan dan menyedihkan?

Mengapa peringkat rata-rata IQ Indonesia hanya menempati peringkat 130 dari 199 negara di dunia? Bukankah kita sedih ketika melihat fakta bahwa peringkat sistem pendidikan kita hanya menempati peringkat 54 dari total 77 negara di dunia?

Apa sebabnya Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 di dunia sebagai negara paling terliterasi (melek baca)? Mengapa pula universitas peringkat 6-nya Malaysia lebih baik daripada universitas peringkat 1-nya Indonesia, padahal peringkat 6-nya Malaysia tersebut adalah universitas swasta?

Hal-hal tersebut tentunya sangat berefek pada kehidupan masyarakat Indonesia. Negara yang paling tidak terliterasi contohnya, yang paling parah di antara semua itu. Bukan hanya berdampak negatif pada sesama masyarakat kita, tapi juga mendapat pandangan yang negatif dari dunia internasional.

Ilustrasi Universitas. Foto: Shutterstock
Ilustrasi Universitas. Foto: Shutterstock

Secara mengejutkan, Indonesia ditempatkan pada peringkat pertama sebagai negara dengan netizen paling tidak sopan se-Asia. Bahkan, negara kita tercinta dinobatkan sebagai peringkat 4 di dunia.

Bukankah kita sangat miris dengan fakta ini ketika kita dalam waktu yang berbarengan membangga-banggakan negara kita sebagai negara paling ramah dan sopan santun di dunia?

Hal menyedihkan tersebut terjadi karena netizen lokal kita sangat mudah terbakar emosi, terpancing berita bohong dan misinformasi, dan tidak atau belum mengerti bagaimana adab dalam berkomunikasi secara maya. Dapat kita setujui, penyebabnya adalah, tidak lain dan tidak bukan, ya faktor pendidikan.

Menurut saya, hal yang paling menyakitkan dan nyesek sampai ke ulu hati adalah fakta terakhir. Fakta di mana kita dikejutkan oleh kenyataan betapa sudah berkembang dan bertumbuhnya pendidikan negara tetangga kita, Malaysia.

Bukankah kita kaget, saat kita bernostalgia 40-50 tahun yang lalu, betapa banyaknya mahasiswa dari Malaysia yang datang jauh-jauh ke Indonesia untuk belajar? Dan berapa banyak guru yang kita kirim ke sana untuk mengajar? Namun, bukankah kondisi sekarang berbalik 180 derajat, di mana banyak mahasiswa kita yang pergi jauh-jauh ke negeri Jiran dikarenakan kualitas pendidikan mereka jauh lebih baik?

Menyikapi Bonus Demografi

Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah.   Foto: Shutter Stock
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Foto: Shutter Stock

Pendidikan berbiaya mahal, kesejahteraan guru (terlebih honorer) yang terabaikan hingga hilangnya pendidikan karakter dari kurikulum pendidikan, menjadi bagian paling besar dari masalah yang menghantui dunia pendidikan kita. Belum lagi jika berbicara tentang pendidikan di daerah terpencil, pedalaman dan perbatasan. Nasib lebih miris mudah dijumpai di sana.

Memang tanggung jawab di sektor pendidikan telah diserahkan pemerintah pusat kepada masing-masing daerah. Pendidikan tingkat dasar, mulai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota.

Sementara jenjang pendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah provinsi. Sedangkan kewenangan dan tanggung jawab pendidikan tinggi atau Perguruan Tinggi (PT) berada di tangan pemerintah pusat.

Tapi jangan lupa, pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang memetakan sistem pendidikan di tanah air. Membuat program, merancanang anggaran, termasuk merumuskan kurikulum pendidikan.

Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek
Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek

Pemerintah pusat pula dalam hal ini Presiden melalui hak prerogatif-nya yang menentukan lembaga-lembaga pembantunya di pemerintahan. Rasanya, jika pemerintah benar-benar serius ingin menjadikan pendidikan sebagai kunci kebangkitan bangsa, harusnya Kementerian Pendidikan fokus mengurusi masalah pendidikan saja. Tanpa embel-embel kebudayaan, ditambah riset dan teknologi.

Patut rasanya saya berharap, presiden yang akan terpilih di 2024 mendatang benar-benar serius menyikapi masalah pendidikan ini. Sebab berkaca pada bonus demografi, dalam kurun lima hingga sepuluh tahun ke depan, negeri kita akan menghadapi era bonus demografi. Di mana penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia non produktif (65 tahun ke atas)

Bonus demografi menjadi kesempatan strategis bagi Indonesia untuk melakukan berbagai percepatan pembangunan dengan dukungan sumber daya manusia (SDM) berusia produktif yang melimpah.

Apalagi, tahun 2030 terdapat agenda besar pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Sejalan dengan itu, pemerintah pun telah mencanangkan Visi Indonesia Emas tahun 2045 dengan harapan terciptanya generasi produktif yang berkualitas.

Momentum tersebut tentu saja harus dihadapi dengan perencanaan yang matang. Melimpahnya sumber daya manusia itu harus diintervasi oleh pemerintah dengan mempersiapkan sistem pendidikan yang terencana, terarah dan berkelanjutan. Juga memperhatikan dua pelaku pendidikan, pelajar dan pengajar.

Mudah-mudahan ini bukan hanya harapan saya. Tapi harapan kita semua dan didengar oleh para pemangku kepentingan. Semoga. (*)

Media files:
01ght0nz57amtn2hybdkh2p956.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar