Mar 5th 2023, 14:38, by Zackir L Makmur, Zackir L Makmur
Humoris, juga koboi dari Amerika Serikat, Will Rogers (1879-1935), tidaklah sedang humor manakala berkata bahwa politik itu mahal, bahkan untuk kalah pun kita harus mengeluarkan banyak uang.
Will memang saat itu melihat Amerika Serikat mengalami "Kamis hitam", yakni era depresi besar-besaran sejak jatuhnya bursa saham New York sampai puncak terparahnya 29 Oktober 1929.
Maka politik dari "Kamis hitam" itu berbiaya mahal. "Kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang," ungkap Will. Dan, ungkapannya ini, beberapa dasawarsa kemudian, di Indonesia menjadi relevan.
Terlebih, pada tahun politik jelang Pemilu 2024 ini, mengeluarkan banyak uang untuk politik ramai menjadi sorotan. Lantaran di dalam pengeluaran uang itu, ada dana gelap politik.
Ironisnya, "alat" pendeteksian dana gelap politik itu bernama peraturan perundang-undang tidak ada. Undang Undang (UU) Partai Politik (Parpol) dan UU Pemilu, belum—atau lupa—mengaturnya.
Hal inilah yang disoroti secara tajam oleh "srikandi" gerakan pro-demokrasi, Titi Anggraini. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini mensinyalir bahwa adanya ruang gelap dana politik yang hingga saat ini tidak dapat dijangkau oleh KPU dan Bawaslu, karena belum diatur dalam UU Partai Politik (Parpol) dan UU Pemilu.
Terjadi Aliran Dana
Sementara ini sejumlah kalangan maupun parpol sudah pada sibuk melancarkan kegiatan sosialiasi, atau kampanye secara halus. Dan ini, secara tak langsung, sudah memakai dana jor-joran. Aktivitas elektoral ini pun makin menderu, tapi pelaporan akuntabilitasnya baru bisa dijangkau oleh KPU dan Bawaslu pada masa kampanye yakni 28 Oktober 2023.
Sejarah politik apakah ini, instansi sekelas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu Umum (Bawaslu) begitu tersendat mencatat arus dana gelap politik?
Tetapi bangsa ini agak tentram manakala Bawaslu RI meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) agar berkoordinasi dengan aparat penegak hukum, untuk mengungkap dugaan adanya tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau aliran dana ilegal terkait penyelenggaraan pemilu.
Dugaan ini mencuat setelah PPATK menemukan adanya indikasi dana ilegal mencapai triliunan rupiah, yang digunakan untuk kontestasi politik. Dana itu terindikasi terkait tindak pidana sumber daya alam dan masuk ke figur politik.
Sejak itu, di bangunan besar perpolitikan Indonesia modern bisa dikenali punya "ruang-ruang" gelap dana politik. Ruang ini, kedap suara. Maka jelang Pemilu 2024 ini, keinginan sejumlah kalangan ingin membongkar ruang-ruang itu kian kuat.
Karena Bawaslu (dan KPU) kewenangannya masih terbatas. Sebutlah Bawaslu, dalam penyelenggaraan pemilu bertugas sebagai pengawas. Jadi, ketika tahapan kampanye belum dimulai, persoalan dugaan adanya dana ilegal untuk pemilu tidak masuk dalam kewenangan penyelidikan dan penindakan Bawaslu (dan KPU).
Elemen Masyarakat Berperan
Tahapan kampanye belum dimulai, baru dimulai pada 28 November 2023, tapi aliran dana politik sudah merembes ke mana-mana. Inilah pentingnya seluruh elemen masyarakat mau mengambil peran dalam mendorong aparat penegak hukum mengusut dugaan adanya dana-dana ilegal itu.
Tetapi keinginan itu bisa gampang terbuai ilusi dan haluniasi, bilamana permainan politik sebelumnya sudah mengadang dengan gelombang premis-premis kecurigaan antarkelompok. Kemudian, pelan-pelan, antarkelompok pun melakukan pertentangan.
Ketika semua itu menjadi bagian dari permainan politik, maka sebagaimana dirisalahkan oleh negarawan Jerman, Otto Von Bismarck (1815-1898): "Jangan pernah mempercayai apa pun dalam politik sampai hal itu resmi diingkari."
Masih mungkinkah, ketika "pertentangan" jadi komoditas politik, demokrasi sehat-sehat selalu? Para optimis politik boleh jadi menjawab, tidak ada pertentangan, yang ada perbedaan. Pertentangan bukanlah pola dalam sejarah demokrasi politik Indonesia modern.
Para optimis politik semacam itu, sayangnya, juga datang dari bangunan besar politik hingga mereka tahu adanya kamar gelap perpolitikan dinafikan begitu saja. Oleh karena itu transaksi dana politik di ruang gelap ini, bukan saja sulit dicarikan fakta-faktanya, melainkan pula menjadi gelap makna identifikasinya.
Kehidupan Politik
Kehidupan politik yang tiap denyut napasnya mengandung harapan untuk demokrasi lebih sehat dan lebih baik lagi, bagaimanapun, memerlukan dana besar dalam penyelenggara pemilunya. Menyangkut akan hal ini Komisi II DPR RI menyetujui penambahan anggaran Rp7,86 triliun kepada KPU dan sebesar Rp6,06 triliun kepada Bawaslu RI untuk penyelenggaraan Pemilu 2024.
Para praktisi politik tahu akan hal itu. Maka, selain mendapat "tunjangan dana" dari KPU ataupun dari Negara, dibutuhkan pula "uluran dana" dari pihak-pihak lain. Pihak-pihak lain ini, pada dasarnya adalah pemberi bantuan dana politik tidak mengikat.
Benarkah tidak mengikat? Benarkah bantuan dana itu diberikakan oleh perorangan maupun kelompok semacam "amal" demi demokrasi, diberi cuma-cuma biar Tuhan nanti yang menggantinya.
Awal-awal demokrasi diserap republik ini sejak memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, perorangan maupun kelompok masyarakat memberi dana bantuan semacam "amal" demi demokrasi hidup. Para pembentuk negara sejak semula punya komitmen besar terhadap demokrasi. Mereka memberi bantuan tanpa pamrih.
Tapi kini tahun 2023 jelang Pemilu 2024, amal bantuan dana politik secara gratis terasa ganjil. Kondisi demokrasi sudah beda. Orang-orang menjalankan mesin demokrasi demi meraih kestabilan kekuasaan, bukan meraih kekuasaan demi mengusir kolonialisme.
Maka taraf "kesehatan" demokrasi awal kemerdekaan—tambahan dapat gangguan pula dari kolonialisme untuk kembali menguasai Republik Indonesia, sangat berbeda dengan "mutu" kesehatan demokrasi RI yang sudah merdeka 78 tahun.
Politik Pencucian Uang
Kesehatan demokrasi masa kini butuh dana alangkah besarnya. Berbanding lurus dengan kebutuhan ini, per orang atau kelompok, bahkan institusi partai politik pun, melakukan penggalangan dana. Dan, celakanya ada celah yang sangat bisa dimasuki oleh faktor pencucian uang.
Upaya pencucian uang datangnya adalah uang hasil korupsi dalam jumlah besar maupun dari hal-hal ilegal lainnya, kemudian dialihkan ke dalam kegiatan sektor lainnya, adalah proses pencucian uang. Perbuatan ini sebagai suatu upaya menyamarkan asal-usul dana.
Hal itu bisa ditempuh dengan langkah melakukan aktivitas layering. Aktivitas ini dilakukan untuk menjauhkan uang yang diperoleh dari tindakan ilegal sumber uang. Dalam konsep pencucian uang, ada tahap langkah yang ditempuh yakni placement, layering dan integration.
Plt Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK Danang Tri Hartono, menyebut sedikitnya uang Rp 1 triliun hasil kejahatan lingkungan mengalir ke partai politik untuk pembiayaan Pemilu 2024 (Kompas.com, 10 Februari 2023).
Tambahan lagi laporan Tempo menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2022, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mencapai Rp 183,88 triliun sepanjang tahun 2022 (Tempo, 20 Februari 2023).
Kasus-kasus pencucian uang itu menandakan demokrasi kita masih butuh ruang kontrol yang bersih. Hal ini sangat mendesak untuk diimplementasikan. Oleh sebab itu selain sehat dan bersih, demokrasi kita juga bisa memperlihatkan sebuah perhelatan pesta demokrasi yang tidak lagi boyak.
Harapan agar demokrasi sehat dan pemilu bersih, kian berpendar manakala Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menandatangani nota kesepahaman dengan PPATK guna mencegah tindak pidana pencucian uang serta menindak pelanggaran dan mengawasi dana kampanye pada Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
Penandatanganan kerja sama oleh Bawaslu dan PPATK ini, adalah "bentuk konkret untuk mewujudkan pemilu yang adil, transparan, akuntabel, dan berintegritas," tegas Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja Bagja(Kompas.com, 10 Februari 2023).
Kita masih bisa berharap politik tidak punya kamar gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar