Feb 11th 2023, 11:30, by Ferry Kurniawan, Ferry Kurniawan
Sejak 2019 penataan dan pembangunan infrastruktur terus digenjot Kota yang berada di bawah kaki gunung Lawu dan Wilis. Upaya ini menyabet penghargaan pembangunan daerah 2022 terbaik, kedua dengan kategori perencanaan dan pencapaian terbaik se-jawa timur. Tak hanya itu, sepanjang tahun 2021 Pemerintah Kota telah mengantongi 36 penghargaan.
Pada awalnya, Indonesia terbentuk atas dasar tujuan mulia untuk perlindungan, kesejahteraan, kecerdasan, dan ketertiban yang adil. Pembangunan suatu daerah setidaknya memiliki tujuan untuk kehidupan yang adil dan makmur. Namun semua berubah sejak doktrin pariwisata menyelinap dalam proyek-proyek masterpiece.
Begitulah kira-kira gambaran daerah yang berada di antara gunung Wilis dan Lawu. Di mana proyek estetika menjadi prioritas daripada kebutuhan hidup warganya. Pedestian mewah dengan sorot temaram saat malam hari beserta penjaganya di setiap sudut, lebih mahal dari tempat tinggal warganya.
Proyek estetika dan mewah Kota di antara Gunung Lawu dan Wilis belakangan memang merajalela. Bagaimana tidak, Pemkot telah menggunakan anggaran sebesar Rp 16,7 miliar untuk revitalisasi pedestrian di setiap sudut kota selama 2022. Perbaikan dan pelebaran pedestrian proyek ini sepanjang 5,4 kilometer.
Itupun dengan dasar melanjutkan pengembangan kawasan Pahlawan Street Center (PSC) dan akan dilanjutkan sekitar Rp 3,5 miliar di tahun anggaran 2023. Realisasi proyek estetika ini lagi-lagi akan menggunakan APBD yang dalam prosesnya lebih cepat dari target.
Kalau ditotal, pembangunan pedestrian ini sebesar Rp 20,2 miliar, angka yang tidak sedikit untuk sebuah proyek estetika. Lalu bagaimana dengan biaya pembangunan hajat hidup rakyat, apakah sama banyaknya dengan proyek estetika?
Sepatutnya sih lebih besar, atau minimal sama besar deh. Kan nanti juga membawa prestasi. Sekalian sebagai kesempatan untuk pertumbuhan ekonomi toh ya yang dilakukan sudah tahu, ya percepatan realisasi belanja anggaran yang ada.
Tapi sayang, Pemkot hanya memakai alokasi sebesar Rp 1,2 miliar untuk 100 penerima dana bantuan perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dan jambanisasi warga tidak mampu tahun 2022. Proyek RTLH yang bertujuan mencukupi kebutuhan masyarakat terhadap perumahan untuk meningkatkan kelayakan hidup dan mengurangi tingkat kemiskinan wilayah.
Jika dipikir-pikir, pembangunan 60 RTLH dan rehabilitasi 40 jamban dengan pedestrian 5,4 kilometer, mana yang lebih diprioritaskan beserta anggarannya masing-masing. Kok bisa, lebih banyak anggaran pedestrian yang digelontorkan daripada membangun rumah layak huni bagi rakyatnya.
Tertegun, membayangkan pedestrian lebih mewah dari harga baru rumah kompleks. Kok bisa proyek estetika lebih banyak menelan anggaran dari proyek kesejahteraan rakyat?
Mungkin branding kota bisa sedikit menjawab ketimpangan anggaran ini. Dalam periode 2019-2024, kota ini memang sedang mengusung branding sebagai smart city. Hal ini dibuktikan melalui perolehan prestasi TOP City Branding Award 2022, dengan visi "terwujudnya pemerintahan bersih berwibawa menuju masyarakat sejahtera".
Selain itu, penghargaan sebagai Kota Inovasi Smart Branding Terbaik kategori Kota dalam Indonesia Smart Nation Award 2022 juga berhasil diraih. Ya, sederet prestasi ini hanyalah buah manis yang dinikmati oleh pemerintah, sedangkan warganya mungkin hanya sepahnya saja. Sebagai rakyat yang baik, mungkin saja perlu sesekali mengapresiasi kinerja pemerintah, itupun kalau ada yang patut untuk diapresiasi.
Namun, deretan prestasi yang diperoleh apakah menjadi representasi warganya yang kian sejahtera? Bukannya dimensi smart city itu beragam,mulai dari smart governance, smart society, smart living, smart economy, smart environment, dan smart branding.
Terus, kok bisa dapat TOP Branding sedangkan anggaran RTLH saja sedikit dibanding dengan pedestrian. Apa benar warga kota sudah layak huni semua rumahnya? Silakan lihat sendiri realitanya sambil menikmati buah proyek estetika.
Penghargaan branding kota berhasil diraih berkat inovasi PSC yang dinilai sebagai bagian dari smart branding yang berhasil dan memenuhi parameter penilaian. Maka tak heran jika proyek estetika ambisius tersebut digelontorkan anggaran yang mewah sebagai upaya membangun legacy masterpieces periode 2019-2024.
Jadi, dapat dipahami jika doktrin pembangunan bukan untuk kesejahteraan, melainkan pariwisata. Inilah masalah yang akan lahir di kemudian hari akibat doktrin dibalik pembangunan di Madiun. Fokus utamanya hanyalah sektor pariwisata, entah untuk menarik wisatawan, realisasi capaian PAD, atau meraih semua penghargaan yang digelar.
Ketika sebuah daerah berfokus pada pariwisata, proyek-proyek estetika menjadi sebuah keharusan. Tak terkecuali RTLH mungkin mengikuti doktrin estetika dengan pavingisasi gang-gang dan sorot lampunisasi temaram.
Rumah murah layak huni pun kalah dengan serapan anggaran pedestrian yang bisa saja tiap akhir tahun dibongkar pasang lagi. Padahal yang dibutuhkan warganya bukan melulu tentang estetika foto yang instagramable, melainkan hidup aman yang layak dan sejahtera.
Sialnya, hal serupa mulai dilakukan di daerah Jawa Timur bagian Barat yang mengadopsi gaya pedestrian Malioboro. Entah apa tujuan kepala daerah ini yang makin berlomba dalam hal estetika tata kota. Semoga ungkapan tourism kill the city tidak benar-benar terjadi di daerah yang kita cintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar