May 21st 2024, 07:00, by Sena Pratama, kumparanOTO
Salah satu fakta yang terungkap dari peristiwa kecelakaan bus pariwisata Putera Fajar adalah adanya modifikasi bodi yang tidak sesuai dengan spesifikasi sasis yang digunakannya. Diketahui, bus tersebut seharusnya tak adopsi dek tinggi.
Dilansir data aplikasi Mitra Darat, bodi bus jenis super high deck (SHD) atau dek tinggi itu dibangun di atas sasis Hino AK1JRKA lansiran tahun 2006 berdasarkan tanggal diterbitkannya SRUT (Surat Registrasi Uji Tipe). Sasis ini menganut konfigurasi mesin depan.
Kemudian, penelusuran dari komunitas media sosial, wujud awal bus tersebut sejatinya merupakan jenis standard deck (SD) dari karoseri Laksana tipe Discovery dan milik perusahaan bus lain. Sebelum akhirnya dibeli dan dirombak oleh PO Putera Fajar.
Tidak sedikit yang berkomentar bahwa ketidaksesuaian penggunaan sasis dan bodi yang dipasang menjadi salah satu faktor penyumbang kecelakaan bus pariwisata tersebut. Ada pula yang menyebut, sasis bus dengan mesin depan sejatinya tidak cocok menggunakan bodi SHD.
Lantas, benarkah demikian? Bus Bodybuilder Advisor PT Daimler Commercial Vehicles Indonesia (DCVI) selaku distributor sasis bus Mercedes-Benz, M. Thoyib mencoba menjelaskannya. Menurutnya, posisi mesin bus tidak bisa serta merta dijadikan acuan.
"Aspek penting dalam proses rancang bangun bodi SHD yang perlu diperhatikan adalah GVW (Gross Vehicle Weight) dan sistem suspensi. Bukan pada konfigurasi mesin apakah di depan atau di belakang," kata Thoyib kepada kumparan belum lama ini.
Namun, dirinya tak menampik kebanyakan bus berbodi SHD memang mengadopsi sasis mesin belakang. Sebab secara spesifikasi, sasis bus mesin belakang sudah dirancang menggotong beban yang lebih berat dan jenis suspensi yang lebih mumpuni.
"Tapi memang rata-rata bus mesin depan hanya memiliki GVW maksimal di 16 ton dan umumnya pakai suspensi model leaf spring (per daun) dan air suspension model narrow. Sedangkan bus SHD idealnya memiliki sasis dengan spesifikasi GVW di atas 16 ton dan air suspension model wide seperti di Mercedes-Benz O500 RSD 2445 Maxi," jelas Thoyib.
Thoyib mengatakan, aturan baku tersebut sudah tertuang dalam Surat Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Nomor AJ.502/1/18/DRJD/2022. Ada lima kategori bus berdasarkan konfigurasi sumbunya, detailnya bisa Anda simak di bawah ini.
Pada kategori bus besar dengan konfigurasi sumbu 1.2, dilampirkan jumlah berat yang diizinkan atau JBI maksimal adalah 15.000 kilogram (15 ton) untuk tinggi bodi maksimal 3.670 meter. Kemudian JBI maksimal 15.500 kilogram (15,5 ton) untuk tinggi bodi maksimal 3.750 mm, dan JBI maksimal 16.000 kilogram (16 ton) untuk tinggi 3.850 mm.
"Istilah bodi SHD mulai populer di Indonesia, bodi yang termasuk jenis SHD adalah yang memiliki ketinggian 3,9 meter," imbuh Thoyib.
Bila menilik spesifikasi sasis bus Hino AK1JRKA, sasis tersebut hanya didesain untuk mengangkut beban dengan acuan GVW 14.200 kilogram alias 14,2 ton. Artinya, ia termasuk kategori bus besar dengan JBI maksimal 15 ton dan hanya boleh menggunakan bodi bus dengan tinggi maksimal 3.670 meter atau 3,6 meter.
"Karena rancang bangun bodi SHD memerlukan spesifikasi khusus. Jika dibangun di sasis yang tidak sesuai, maka keseimbangan kendaraan akan berisiko tidak stabil dan kendaraan berpotensi rawan terguling," papar Thoyib.
Sebelumnya, Ketua KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi), Soerjanto Tjahjono menyoroti faktor lainnya kecelakaan bus Putera Fajar akibat perubahan spesifikasi bodi bus Putera Fajar yang tidak sesuai dengan aslinya.
"Perubahan tersebut bisa saja mempengaruhi kelimbungan kendaraan," kata Soerjanto di Terminal Subang, Minggu (12/5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar