Oct 20th 2023, 20:33, by Agus Budiana, Agus Budiana
Di mana ada permintaan di situ ada penawaran, salah satu adagium nyata yang berlaku dalam konteks ekonomi konvensional. Ketika orang membutuhkan sesuatu barang secara massal, tentunya akan ada penawaran dengan stok terbatas dan harga tinggi. Sebaliknya permintaan tinggi, kondisi barang melimpah, harga akan turun.
Kondisi ini sering terjadi dalam dunia ekonomi, sebagai salah satu konsekuensi bahwa manusia membutuhkan sesuatu untuk dikonsumsi, dan rela membayar harga mahal apabila, jumlah barang yang ada di pasar terbatas.
Begitu pula dalam dunia politik, khususnya dalam pemilu. Kondisi tersebut dapat terjadi dan dikondisikan secara praktik, terutama dalam kampanye. Apa pun yang dipunyai oleh seluruh caleg, tentunya ingin yang maksimal dapat ditanggapi oleh pemilih. Artinya apa pun yang dimiliki semuanya diperkenalkan pada rakyat, agar rakyat tahu, menerimanya dan memilihnya.
KomoditasKampanye
Beberapa hal dalam kampanye yang sering kita temukan di lapangan adalah, menjamurnya: Televisi, radio, pamflet, cangkir, brosur, kaos, payung, topi bahkan kaca mobil pun ditempel gambar-gambar figur caleg. Semua dilakukan oleh para caleg, dalam rangka mengenalkan keberadaan mereka sebagai calon-calon yang akan menuju kursi DPR atau parlemen.
Pernak-pernik kampanye yang dikenalkan tersebut, sebenarnya pada saat itu para caleg sedang melakukan proses komodifikasi atau komoditas informasi pada rakyat melalui medianya masing-masing, di mana apabila jualan informasi tersebut menjadi laku dan berguna, para pemilih akan memilihnya menjadi anggota DPR.
Mosco (2009) komodifikasi merupakan transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Komodifikasi memperlihatkan proses bagaimana produk-produk kultural di kerangka sesuai dengan kepentingan pasar. Komoditas dan komodifikasi adalah dua hal yang memiliki hubungan objek dan proses. Dalam konteks pemilu, proses ini merupakan upaya yang dilakukan oleh para caleg, untuk membuat suatu materi dalam media, di mana materi tersebut disetting sedemikan rupa agar menarik, nyata, sesuai kebutuhan rakyat dalam bentuk kampanye.
KomoditasKampanye Nyata
Persoalannya adalah pesan-pesan materi yang disampaikan harus konsisten dengan kenyataan, jangan sampai terjadi pengkaburan informasi atau seolah-olah benar namun faktanya tidak sama. Hal-hal seperti ini yang nantinya menjadi preseden tidak baik untuk rakyat.
Faktanya masih banyak, informasi-informasi yang ditawarkan pada pemilih, hanyalah sekadar syarat agar menjadi jalan mulus melenggang ke DPR. Artinya kesan baik di awal namun pada perjalanannya banyak terjadi masalah dan banyak janji-janji yang tidak terealisasi. Akhirnya muncul kesan beli kucing dalam karung.
Sebaliknya apabila sesuai, akan terjadi proses edukasi bagi rakyat terhadap para caleg-calegnya yang akan dipilihnya. Rakyat akan membeli dengan maksimal atas tawaran informasi yang benar, baik, jujur berdasarkan fakta dari para caleg-calegnya dalam wujud mendukung kampanye calon dan memilihnya dengan pasti.
Komoditas dalam kampanye sah-sah saja, selama tujuannya di tujukan untuk kebaikan dan mendidik tentang suatu kejujuran berdasarkan fakta dalam proses memilih. Selama proses komoditas kampanyenya benar, sesuai dengan fakta dan harapan rakyat. Secara hukum alam yang terbaik dan berkualitaslah yang akan mendapat simpati, pengertian, dukungan dari rakyat untuk dipilih.
Kapan lagi? Pemilu tahun 2024 lah kita akan mendukung dan memilih caleg-caleg yang mempunyai integritas dan berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar