Aug 15th 2023, 18:52, by Ema Fitriyani, kumparanBISNIS
Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri, membeberkan ada efek samping dari kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang telah diterapkan sejak tahun 2020. Hal tersebut pun diamini oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Faisal menjelaskan, eksploitasi pertambangan nikel terjadi secara masif sejak pemerintahan Presiden Jokowi. Buktinya, pada tahun 2014 produksi nikel hanya 160 ribu ton, melonjak hingga 1,6 juta ton pada tahun 2022.
Akibatnya, kata dia, muncul kekhawatiran sumber daya nikel habis karena pengerukan besar-besaran tersebut. Bahkan Kementerian ESDM memprediksi cadangan nikel di Indonesia bakal habis dalam 13 tahun mendatang.
Waktu saya ketemu Pak Luhut, dikatakan 'saya juga sebetulnya enggak setuju larang-larang (ekspor nikel)', kan ada sejumlah orang yang ketika kita ketemu pribadi dan secara publik (pandangannya) beda," ungkapnya saat diskusi OTW 2024 lembaga survei KedaiKOPI, Selasa (15/8).
Masalahnya, lanjut Faisal, hilirisasi nikel di Indonesia belum mencapai produk baterai kendaraan listrik atau lithium ion yang nilai tambahnya lebih tinggi. Di sisi lain, dunia juga sudah menemukan produk substitusi, yaitu sodium ion yang sepersepuluh lebih murah dari lithium ion.
"Pak Luhut tau bener kalau dilarang (ekspor) itu otomatis muncul substitusi, kan nikel langka, harganya tinggi, pengusaha cari yang murah. Sekarang sudah ditemukan sodium ion, pabrik sodium ion itu terbesar di China," jelas dia.
Dengan begitu, Faisal Basri menegaskan kembali, industri hilirisasi nikel di Indonesia sejauh ini masih menguntungkan China. Dia menyebutkan, pernyataan Presiden Jokowi bahwa nilai tambah industri nikel mencapai Rp 510 triliun tidak ada yang dinikmati masyarakat.
"Seolah-olah uangnya datang ke Indonesia, ya ndak, cadangan devisanya ya disimpan di negaranya dong, orang pengusaha nasional saja disimpan di Singapura, apalagi pengusaha asing diberikan kebebasan tidak ada aturan untuk membawa uang," tuturnya.
Faisal menuturkan, 90 persen nilai tambah industri hilirisasi dinikmati oleh negara Tirai Bambu. Sebab, mereka mendapatkan bijih nikel murah yang dikelola langsung di smelter hasil investasi China, dibiayai oleh bank asli China, produknya pun seluruhnya diekspor ke negara tersebut.
"Pengusaha 90 persen dari China, dinikmati di sana, bikin pabrik pakai pinjaman bank, bank semuanya China, jadi bunganya ke China, paten dari sana kita tidak pakai teknologi Indonesia, jadi yang sisa pekerja dapat paling sedikit," jelas dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar