Dec 8th 2022, 12:30, by Wisnu Prasetiyo, kumparanNEWS
Pengesahan KUHP yang dilakukan Selasa (6/12) lalu mengundang banyak penolakan dari berbagai pihak. Salah satunya terkait pasal 240, yang berisi tentang penghinaan terhadap lembaga kenegaraan.
Bunyi Pasal 240 sebagai berikut:
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
(4) Aduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara.
Batas antara penghinaan dan kritik yang kurang jelas membuat banyak pihak mengkritisi pasal ini. Meski sudah ada penjelasan sedikit di dalamnya.
Yang dimaksud dengan "menghina" adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah.
Menghina berbeda dengan kritik yang merupakan hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa atau menyampaikan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah atau lembaga negara.
Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan pemerintah atau lembaga negara.
Pada dasarnya, kritik dalam ketentuan ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pemerintah" adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang dimaksud dengan "lembaga negara" adalah MPR, DPR, DPD, MA, dan MK.
Penjelasan Ahli
Ahli hukum pidana lulusan UGM Fathillah Akbar mencoba memberikan penjelasan, apa bedanya mengkritik dan menghina lembaga negara seperti Presiden, Wapres, DPR hingga lembaga sejenis.
"Sebenarnya kan itu sudah termasuk kemajuan. Karena kan sebelumnya pasal 240 itu ada pasal 350 juga, 351 ya tentang penghinaan terhadap kekuasaan yang umum. Setelah masukan masyarakat ditampung tuh, 240, 350 itu digabung, jadi penghinaan terhadap pemerintahan dan kekuasaan lembaga yang sah aja," jelasnya.
"Jadi sebenarnya sudah ada kemajuan itu digabung jadi tidak ada pemisahan lagi," lanjutnya.
Apa makna penghinaan tersebut?
"Jadi yang di situ kan adalah yang dimaksud penghinaan itu berdasarkan yang memang menjatuhkan martabat, gitu," ujar Fathillah.
Lantas, apa bedanya dengan kritik?
"Jadi kalau kritik itu berdasarkan riset, berdasarkan opini dan sebagainya tidak bisa dijerat," ungkap dia.
Karenanya, masyarakat harus menyertai riset dan bukti dan konkret untuk mendukung pendapatnya agar tidak terjerat KUHP terbaru.
Rawan Penyelewangan, Harus Ditinjau
Sementara itu, menurut ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar, pasal ini masih perlu ditinjau ulang. Sebab, hadirnya lembaga kenegaraan merupakan peran untuk melayani masyarakat.
"Iya nah itu yang menurut saya yang memang perlu direview lagi ya karena sebenarnya kan pola relasi antara lembaga-lembaga kenegaraan dengan rakyat itu kan melayani sebenarnya, nah mereka ada tuh untuk menyelenggarakan urusan rakyat," jelasnya.
Lebih lanjut, Abdul Fickar mengatakan bahwa selama masa sosialisasi KUHP yang direncanakan berjalan selama 3 tahun ke depan, masyarakat harus aktif meninjau.
"Nah karena itu menurut saya 3 tahun ini mungkin masyarakat akan menganalisis, ya, menganalisa apakah tugas-tugas tertentu itu sangat mungkin, terjadi penyelewengan atau terjadi muatan-muatan kekuasaan yang sengaja untuk menekan rakyat," lanjutnya.
Dalam kurun waktu tersebut, ia mengusulkan adanya upaya perbaikan tentang pasal yang dirasa tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
"Nah waktu 3 tahun saya kira cukup untuk melakukan upaya hukum ya apakah itu perbaikan, maupun itu judicial itu ke Mahkamah Konstitusi," jelas dia.
"Nah itu yang umpamanya ada pasal yang butuh kritik atau pendapat atau saran yang kemudian dapat dilampirkan sebagai penghinaan kepada kepala negara. Biasanya pasal-pasal yang gini tuh bisa menjadi objek dari apa peninjauan kembali, objek dari review, gitu," tukas Abdul Fickar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar