Search This Blog

Melontar Jumrah: Terapi Pembersihan Hati

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Melontar Jumrah: Terapi Pembersihan Hati
Jun 18th 2024, 11:03, by Prof. Dr. Bambang Irawan, Prof. Dr. Bambang Irawan

Jemaah haji berjalan untuk melempar jumrah hari ketiga menuju Jamarat di Mina, Arab Saudi, Jumat (30/6/2023). Foto: Wahyu Putro A/ANTARA FOTO
Jemaah haji berjalan untuk melempar jumrah hari ketiga menuju Jamarat di Mina, Arab Saudi, Jumat (30/6/2023). Foto: Wahyu Putro A/ANTARA FOTO

Ritual melontar jumrah adalah praktik yang mengingatkan kita pada usaha Nabi Ibrahim dan keluarganya dengan melempari setan yang terus menggoda untuk menggagalkan perintah Allah menyembelih Ismail.

Namun di balik simbolisme fisik dari batu yang diarahkan ke dinding/tugu, tersimpan makna yang jauh lebih dalam bagi para pelontar; yakni menyucikan jiwa dari penyakit-penyakit hati yang kerap mendarat dan mengendap, seolah-olah tidak terlihat tetapi terasa berat.

Melontar jumrah bukan sekadar membuang batu ke arah tiga tiang, melainkan melontarkan segala sifat negatif yang membelenggu diri kita—iri hati, keras kepala, sombong, dendam, dan sikap yang menolak kebenaran.

Namun, apa artinya semua ini jika setelah batu dilemparkan, hati masih tetap keras dan tangan masih tetap ingin menggenggam kebencian? Melontar jumrah adalah tentang melepaskan—tidak hanya melepaskan batu dari genggaman, tetapi juga melepaskan hati dari segala kotoran jiwa yang menyesakkan.

Setiap batu yang terlempar seharusnya membawa pergi rasa iri dan dengki yang menghujam dalam hati, keras kepala yang membatu, dan ego yang merajalela. Tidak ada gunanya ritual ini jika kita masih merasa paling benar, jika setiap kata dan tindakan kita masih jauh dari kelembutan.

Sungguh, betapa banyak di antara kita yang menganggap diri sudah bersih hanya karena telah melemparkan batu ke tiang jumrah. Betapa banyak pula yang lupa bahwa melontar jumrah adalah awal dari introspeksi diri yang lebih dalam. Melontar jumrah sejatinya adalah undangan untuk menggali lebih dalam, menelisik setiap sudut hati, dan menemukan di mana kita masih tersandung, di mana kita masih jatuh dalam pelukan dosa-dosa kecil yang terasa ringan namun berat akibatnya.

Di tanah suci, kita diajarkan untuk bersikap tawadhu—rendah hati di hadapan Allah dan sesama. Jika hati ini masih merasa tinggi, masih suka menantang padahal ilmu kurang, masih menolak kebenaran hanya karena tidak sesuai dengan keinginan kita maka telah sia-sia ritual lontar jumrah yang dilakukan.

Melontar jumrah harus menjadi cermin yang menunjukkan siapa kita sebenarnya, dan apa yang masih perlu kita perbaiki.

Di penghujung hari, setelah batu-batu jumrah terlempar, tanya pada diri sendiri, "Apakah hati ini sudah lebih bersih? Apakah jiwa ini sudah lebih ringan?" Jika jawabannya belum, maka perjalanan masih panjang.

Melontar jumrah adalah tentang perjalanan spiritual yang tidak hanya dilakukan saat berada di tanah suci, tapi setiap hari dalam hidup kita.

Mari kita lontarkan batu terakhir bukan ke jumrah, tapi ke hati kita sendiri—agar kita dapat melepaskan dan menyembuhkan semua yang memburuk di dalamnya. Mari kita jadikan melontar jumrah sebagai terapi hati yang kotor, sehingga ketika kita kembali ke rumah, kita kembali tidak hanya dengan badan yang lebih bersih, tapi hati yang terbebas dari semua penyakit-penyakit yang merusak.

Media files:
01h4636da1dxsz4b1jn66s7ksr.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar