Feb 5th 2024, 19:46, by Agaton Kenshanahan, kumparanNEWS
Di hadapan para menteri kabinetnya, Presiden Jokowi menyampaikan agar mereka tetap meneruskan program bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat. Arahan itu ia sampaikan dalam rapat kabinet paripurna pada 9 Januari 2024.
Jokowi mengawali arahannya dengan mengangkat isu perubahan geopolitik global yang penuh ketidakpastian seraya menyebut perlunya menyiapkan diri menjelang gelaran Pemilu 2024 dan Hari Raya Idul Fitri. Karenanya, para menteri perlu mewaspadai perubahan iklim yang bisa mengganggu produksi pangan sehingga stok perlu jeli dikalkulasi.
"Mengenai bantuan sosial, perlu saya ingatkan agar diteruskan dan dipantau agar tepat sasaran, baik yang berupa bansos pangan, PKH (Program Keluarga Harapan), atau BLT (Bantuan Langsung Tunai). Semua harus dipastikan tepat sasaran," perintah Jokowi di Istana Negara.
Sepekan setelah rapat paripurna, 14 Januari, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto membagi-bagikan bansos kepada 100 warga di Desa Kuta, Lombok Tengah. Ia mengatakan bansos tersebut merupakan arahan Presiden Jokowi, dan menurutnya warga perlu mengucap terima kasih kepada pihak yang menurunkan arahan tersebut.
Airlangga yang juga Ketua Umum Golkar, salah satu partai pengusung Prabowo-Gibran, itu menjelaskan bahwa bansos tersebut merupakan kelanjutan dari bantuan pangan beras Rp 10 kg menyiasati kekeringan panjang imbas fenomena El Nino yang sudah digelontorkan September-Desember 2023. Tahun ini bantuan tersebut direncanakan turun hingga Juni, dan menyasar 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM).
Selain itu, Airlangga menyebut Jokowi juga memerintahkan pembagian BLT Rp 200 ribu per bulan. Akhir Januari 2024, usai gelaran High Level Meeting Tim Pengendali Inflasi Pusat, Airlangga dan Menteri Keuangan Sri Mulyani merilis bansos tersebut bernama "BLT mitigasi risiko pangan" yang akan turun 3 bulan sekaligus sebesar Rp 600 ribu pada Februari 2024.
"Kalau untuk tiga bulan itu (anggarannya) Rp 11,25 triliun untuk 18 juta KPM, Januari, Februari, sampai Maret," kata Sri Mulyani di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Senin (29/1).
Instruksi perpanjangan bansos oleh Jokowi menyeruak usai beberapa pekan sebelumnya disoal tim kampanye pilpres nomor urut 01 dan 03. Menurut kedua kubu tersebut, guyuran bansos mesti ditunda jelang pilpres karena rentan dipolitisasi. Belakangan, mereka meralat usulan penundaan bansos dengan wanti-wanti agar bansos tidak dimanfaatkan untuk kepentingan paslon tertentu.
Sekjen PDIP sekaligus Sekretaris Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Hasto Kristiyanto, bahkan menuding bansos digunakan untuk kepentingan elektoral paslon Pilpres 02, Prabowo-Gibran.
Sudah bukan rahasia jika anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, turut dalam kontestasi pemilu 2024 sebagai cawapres. Mantan Wali Kota Solo itu memang tak terang-terangan mendukung anaknya atau paslon 02.
Meski demikian, sebagian pihak menilai sinyal keterusterangan Jokowi mulai tampak ketika ia menyampaikan boleh presiden berkampanye. Apalagi kalimat itu ia sampaikan kala bersama Menteri Pertahanan cum capres 02 Prabowo Subianto.
"Ketika bansos sudah dipolitisasi untuk kepentingan Paslon 02, bahkan ada bansos juga yang masuk ke kantong-kantong partai Paslon 02 ini menunjukkan pelanggaran serius," kata Hasto kepada wartawan di kompleks Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Sabtu (3/2).
Tudingan itu dibantah Istana Negara dan Jokowi.
Apakah Bansos Sesuai Kebutuhan?
Saking pentingnya bansos, Presiden Jokowi sendiri sampai turun gunung membagi-bagikannya langsung ke masyarakat. Dihimpun dari publikasi resmi Sekretariat Negara dan akun Instagramnya, pada medio Desember 2023 dan awal Februari 2024 setidaknya sebanyak 17 hari Jokowi membagikan bansos.
Pada 4-6 Desember Jokowi membagikan bansos 10 kg beras ke Labuan Bajo dan Kupang; 13-14 Desember bagikan BLT El Nino dan beras di Pekalongan dan Malang; dilanjut pada 21 Desember di Penajam Paser Utara; 27-28 Desember di Banyuwangi dan Kepulauan Talaud; 2-3 Januari ke Cilacap, Banyumas, dan Tegal; 8 Januari ke Kota Serang; 20, 22, 23 Januari ke Sleman, Grobogan, dan Temanggung; 30 Januari-1 Februari ke Bantul, Klaten, dan Sukoharjo.
10 kg dikali 22 juta penerima selama 6 bulan, total 1,32 juta ton cadangan beras pemerintah (CBP) yang harus digelontorkan demi bansos teranyar. Namun apakah bagi-bagi beras ini tepat guna?
Logika menggelontorkan bansos ke masyarakat menurut Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, ialah untuk menekan harga beras yang tinggi. Dengan beredarnya beras bansos, maka diharapkan permintaan beras di masyarakat dapat berkurang selaras dengan hukum pasar yang bakal menurunkan harga jika permintaan berkurang.
Tahun lalu pemerintah menggunakan strategi serupa dengan membagikan bansos 10 kg selama 7 bulan pada Januari-Maret dan September-Desember ke 21,35 juta KPM. Dengan rata-rata konsumsi sekitar 2,6 juta ton, maka beras bansos setidaknya mengurangi 213 ribu ton atau 8,2% permintaan beras bulanan.
"Di Juni (2023) itu kelihatan sekali harga itu stabil. Nah Juli-Agustus karena enggak ada (bansos) naik lagi (harga beras). Pemerintah tambah September-Desember. Walau bantuan itu plus operasi pasar tidak bisa menurunkan harga, tapi paling tidak menahan kenaikan," jelas Khudori.
Meski demikian, menurut Khudori, ada dua hal yang perlu dikritisi. Pertama, jaring pengaman sosial reguler seperti, Bantuan Pangan Non Tunai, Bantuan Sosial Tunai, Program Keluarga Harapan, Bansos Penerima Bantuan Iuran Kesehatan dan lain-lain sudah banyak, sehingga ia mempertanyakan peran bansos ad hoc yang dilanjut di 2024.
"[Padahal] ada PKH, sasarannya 10 juta rumah tangga, BPNT/program sembako sasarannya sekitar 20 juta rumah tangga. Penerimanya itu-itu saja yang masuk kelompok desil 1 dan 2 atau kelompok miskin terbawah yang kira-kira 20-25% populasi Indonesia," terangnya.
Kedua, persoalan lain ialah mengenai sasaran bantuan BLT El Nino dan Mitigasi Risiko Pangan 2024 ini disebut tak pernah dibuka. Siapa mereka? Apakah merupakan penerima yang sama dari sasaran bansos yang selama ini digulirkan atau tidak?
Sebab, kucuran bansos reguler yang selama ini dibawahi oleh Kementerian Sosial menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kemensos. Sedangkan pada dua bansos teranyar, menurut Airlangga Hartarto, menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional dan DTKS Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Kemenko PMK.
Secara spesifik, Badan Pangan Nasional menyebut sasaran penyaluran bansos beras 10 kg berasal dari data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem, tepatnya berjumlah 22.044.077 KPM. Jumlah itu, jika melihat dashboard P3KE Kemenko PMK, merupakan penjumlahan keluarga miskin di desil 1 (6.878.649), 2 (7.474.796), dan 3 (7.650.632). Sementara desil 4 (kategori rentan miskin) tidak termasuk.
"Kita sudah ada data SUSENAS dan data DTKS dari TNP2K di Kemenko PMK. Jadi datanya sudah dipadupadankan," ujar Airlangga. Ia juga menjelaskan bahwa penerima BLT mitigasi pangan 18,8 juta KPM dan bantuan beras 22 juta merupakan penerima yang berbeda.
El Nino Jadi Biang Keladi?
Sejak Oktober 2023 lalu, Badan Pusat Statistik mewanti adanya defisit beras nasional di Indonesia. Biang keroknya ialah fenomena El Nino yang membuat produksi nasional per bulan turun secara gradual hingga akhir tahun.
Pada saat itu, BPS mengutip BMKG dan badan klimatologi dunia memprediksi El Nino moderat bakal bertahan hingga April 2024. Inilah yang jadi justifikasi pemerintah kemudian memutuskan menggelontorkan bansos plus mengimpor beras demi menambah CBP.
Pada 2023, Badan Pangan Nasional menugaskan Bulog mengimpor 3,5 juta ton. Setengah juta ton di antaranya tak terealisasi, sehingga totalnya hanya 3 juta ton.
Kemudian, menyiasati defisit beras prakiraan BPS pada Januari dan Februari 2024 sebesar 2,83 juta ton, Jokowi memerintahkan Bapanas untuk menugasi Bulog tahun 2024 mengimpor 2 juta ton beras plus tambahan sisa kuota 500 ribu ton yang tak terealisasi di 2023.
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Prof. Dwi Andreas Santosa, kebijakan impor beras tersebut serampangan. Itu karena keputusan impor didasarkan pada proyeksi penurunan produksi 2023 akibat El Nino yang hanya 650 ribu ton beras.
Dwi mengatakan, jumlah impor beras pemerintah dan swasta pada 2023 yang totalnya mencapai 3,06 juta ton itu berlebihan setelah memperhatikan proyeksi penurunan produksi beras yang relatif kecil tersebut. Dan menurut BPS jumlah itu dinyatakan sebagai rekor impor beras tertinggi 5 tahun terakhir–yang kemudian menurut data Prof. Dwi justru rekornya tertinggi 25 tahun terakhir.
Karenanya, justifikasi pemerintah impor beras lantaran El Nino menurut Prof. Dwi kurang tepat. Apalagi di akhir 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memproyeksikan kondisi lebih baik: pada Januari-Maret El Nino di fase lemah, Maret-Mei lemah hingga netral, dan bulan berikutnya diprediksi netral (normal) dan justru ada sedikit kemungkinan La Nina (anomali bulan basah).
Soal prediksi defisit beras, menurut Prof. Dwi, ada kesalahan komunikasi di tubuh pemerintah yang tidak menjelaskan bahwa maksudnya ialah produksi beras di bulan itu minus hasilnya jika dikurangi dengan jumlah konsumsi bulanan (±2,5-2,6 juta ton). Tanpa komunikasi yang jelas, masyarakat justru panik menganggap beras kurang atau langka.
Padahal bisa jadi beras itu surplus atau berlebih di bulan-bulan tertentu saat musim panen raya. Sehingga cadangan beras saat panen raya bisa menutupi kebutuhan saat defisit beras di bulan tertentu.
"Kalau tahun lalu sejak Juli defisit, terus itu sampai Januari-Februari. Kadang tergantung musim, Februari sudah surplus, lalu surplus besar di Maret-April. Kalau sekarang (karena El Nino) bergeser nanti mulai surplus Maret, puncak produksi panen raya di April," kata Prof. Dwi.
Menurut proyeksi BPS pada Oktober 2023 lalu, estimasi produksi beras tahun 2023 justru mengalami surplus. Meski tak seperti tahun sebelumnya yang surplus lebih dari 2,4 juta ton, tetapi tahun ini cadangan beras hasil produksi petani diperkirakan masih berkelebihan 280 ribu ton dibanding dengan konsumsi nasional.
Komunikasi pemerintah mengatakan defisit beras itulah justru menurut Prof. Dwi yang menjadi biang kerok harga beras tinggi lantaran menciptakan kekhawatiran masyarakat. Salah satu diagnosanya berdasarkan survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI).
"Harga gabah kering panen di tingkat usaha tani tertinggi di September 2023 di level Rp 7.240 per kg. Setelah itu trennya menurun terus sampai Desember 2023 di angka Rp 7.064 per kg, trennya sudah turun harga gabah kering panen di tingkat usaha tani. Tapi Januari 2024 ini melonjak lagi, terendah Rp 7.200 per kg dari survei kami di wilayah-wilayah produksi, dan di Jatim sudah mencapai Rp 7.850 per kg," ujar Prof. Dwi yang juga Ketua AB2TI.
Bansos Kontradiktif dengan Situasi Ekonomi?
Selain alasan teknis dan klimatologis mengenai bantuan sosial jelang pemilu dikritisi, sejumlah pihak juga menyorot perihal alasan ekonomi di baliknya. Khudori misalnya mengamati ada lonjakan tinggi bansos yang diguyur pemerintah mendekati musim pemilu.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara mengamati ada muatan politis ketimbang ekonomis dari penggelontoran bansos ini.
"Itu kelihatan sekali kok di Indonesia di 2014, 2019, ada lonjakan bansos, dan biasanya semakin besar anggaran bansosnya, itu cenderung efektivitas kepada penurunan kemiskinannya menjadi lebih kecil. Kenapa? Karena dimainkan di soal siapa yang berhak mendapatkan bansos," ujar Bhima.
Pada 2023, anggaran perlindungan sosial pemerintah termasuk dari non kementerian/lembaga berjumlah Rp 476 triliun. Pada 2024 pagu APBN naik sekitar 20 triliun menjadi Rp 496,8 triliun–lebih tinggi dari masa COVID-19 tahun 2020 dan 2021 per se.
Kemenkeu menyebut anggaran bansos yang pemerintah gelontorkan kini ada di APBN 2024 yang sudah disusun sejak akhir 2023. Namun, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu mengakui jika ada perubahan anggaran untuk merespons kondisi global. Politik anggaran ini dinamai sebagai shock absorber (penahan guncangan).
"Kita akan carikan (anggaran), dan itu APBN-nya akan tetap bisa fleksibel dan itu tentunya bagian dari strategi kita untuk mengelola APBN, jadi kita memang selalu siapkan seperti beberapa tahun terakhir," kata Kepala BKF Febrio Kacaribu.
Namun utak-atik anggaran untuk digeser ke bansos, bagi Bhima, justru memunculkan dugaan tidak siapnya anggaran sejak pembahasan Rancangan APBN. Belum lagi ditambah masalah yang jadi konsekuensi jika anggaran pos lain dialihkan ke bansos.
"Kalau anggaran belanja rutin agak susah dong, misalkan gaji pegawai mau digeser, susah," heran Bhima.
Menurut Bhima, peningkatan anggaran perlindungan sosial justru mencerminkan kontradiksi ekonomi. Di satu sisi, pemerintah mengatakan pertumbuhan ekonomi baik di atas 5% plus ada kenaikan gaji ASN dan TNI/Polri. Akan tetapi justru anggaran butuh diutak-atik plus mengucurkan bansos.
Utak-atik anggaran ini tercermin dalam automatic adjustment anggaran K/L di surat Menteri Keuangan Nomor S-1082/MK.02/2023. Kebijakan ini membuat setiap kementerian/lembaga mesti menyisihkan setidaknya 5% anggarannya yang jika ditotal berjumlah Rp 50,14 triliun anggaran itu terkunci untuk direalokasi ke bansos.
"Ibaratnya pemerintah sendiri bilang kondisi ekonomi kita masih kuat, banyak program yang bisa ciptakan lapangan kerja dan menurunkan kemiskinan. Kalau begitu buat apa bansos banyak sekali? Jadi ini yang jadi kekhawatiran bansos tidak berlandaskan situasi riil di lapangan, tapi justru berdasarkan pada keinginan bahwa ini adalah salah satu bentuk strategi kampanye yang paling efektif," tutup Bhima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar