Nov 11th 2023, 10:34, by Hendra J Kede, Hendra J Kede
Entah disengaja atau tidak, entah sudah diperhitungkan atau belum, yang jelas buntut putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membawa keapesan tersendiri bagi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Yang Mulia Prof. Dr. Anwar Usman terkait penanganan apa yang dikenal sebagai Perkara 90 MK, perkara terkait batas usia Capres-Cawapres.
Sepanjang penelusuran penulis, setidaknya ada 7 (tujuh) keapesan yang datang secara bersama kepada Yang Mulia Prof. Dr. Anwar Usman.
Pertama. Dicopot dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi dan sampai akhir masa jabatan sebagai Hakim Konstitusi tidak dibolehkan mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.
Kedua. Gaji dan tunjangan sebagai Ketua MK dengan nominal sekitar Rp. 127.000.000,- (Seratus dua puluh tujuh juta rupiah) per bulan turun drastis menjadi Rp. 77.000.000,- (Tujuh puluh tujuh juta) per bulan;
Ketiga. Rumah dinas sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dengan segala fasilitas yang melekat padanya di Kompleks perumahan pejabat tinggi negara, Widya Candra, pindah ke salah satu flat di apartemen Mahkamah Konstitusi dengan segala keterbatasan fasilitas sebuah apartemen.
Keempat. Protokoler di jalan raya dengan segala fasilitas protokolernya berubah drastis dari protokoler untuk RI 9 menjadi sekadar protokoler ZZ atau yang dulu dikenal dengan protokoler RF.
Kelima. Saat menjabat sebagai Ketua MK dalam persidangan selalu duduk di kursi dengan lambang Garuda dan pemegang dan pengetok palu Konstitusi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sekadar Hakim Konstitusi biasa.
Keenam. Lebih parah lagi dibanding yang kelima bahkan lebih menyedihkan, setelah hanya sekadar Hakim Konstitusi biasa tak boleh ikut memeriksa dan memutus sengketa hasil Pilpres, Pileg, dan Pilkada sampai habis masa jabatan.
Ketujuh. Nampaknya ini yang paling berat, akan disandang seumur hidup dan akan diingat dalam sejarah konstitusi dan Mahkamah Konstitusi Indonesia yaitu melekatnya label sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pelanggar etik berat karena menyalahi Kode Etik dalam menangani perkara tanpa ada peluang banding.
*
Jika ada yang bertanya kepada beliau: Apakah seimbang pengorbanan Yang Mulia untuk Perkara 90 tersebut dibanding dengan nama baik yang sudah ditorehkan sebagai Hakim selama 38 tahun semenjak 1985 dan akan diingat oleh anak cucu beberapa generasi ke depan?
Penulis menerungkan, kira-kira apa jawaban beliau ya?
Penulis sebagai orang Minangkabau, saat merenungkan jawaban yang mungkin beliau sampaikan dan membayangkan bahasa tubuh belia, penulis tiba-tiba teringat local wisdom orang Minangkabau: Aia mato jatuah ke dalam (terjemahan bebas: air mata jatuh ke dalam) sebagai bentuk kesedihan paling sedih dan paling dalam, namun dipendam sendirian. Saking sedihnya air mata pun ndak sanggup mengalir keluar.
Semoga kejadian ini menjadi pembelajaran bagi seluruh pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia dalam menegakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar